Tantangan Spektrum Frekuensi di Indonesia: Antara Kebutuhan 5G dan Kesiapan Regulasi

Panji Ryan Widhi
3 minute read
0

 


Industri telekomunikasi Indonesia tengah berada dalam fase transisi besar, dari era 4G menuju implementasi 5G secara luas. Namun, satu hambatan krusial yang sering disebut oleh banyak pihak — termasuk operator — adalah pengelolaan spektrum frekuensi yang belum optimal. Meskipun potensi teknologi 5G sangat besar, tanpa spektrum yang memadai, adopsinya bisa melambat, bahkan tersendat.

Apa Itu Spektrum Frekuensi?

Spektrum frekuensi adalah "jalan tol" bagi sinyal komunikasi nirkabel. Setiap operator membutuhkan pita frekuensi tertentu agar dapat menyediakan layanan suara, data, dan internet. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengatur siapa yang boleh memakai pita mana, kapan, dan untuk apa.

Dalam konteks 5G, spektrum frekuensi yang dibutuhkan lebih luas dibanding 4G, terutama di pita-pita seperti:

  • Low Band (700 MHz): Cakupan luas, penetrasi kuat, cocok untuk daerah rural.

  • Mid Band (2.6 GHz, 3.5 GHz): Kombinasi kapasitas & jangkauan. Ini adalah tulang punggung 5G.

  • High Band (mmWave, 26 GHz ke atas): Kecepatan tinggi, latensi rendah, namun jangkauan terbatas.

Tantangan Utama Pengelolaan Spektrum di Indonesia

1. Spektrum Masih Terfragmentasi

Sebagian spektrum yang dibutuhkan 5G masih "terkunci" oleh teknologi lama (seperti TV analog, atau teknologi satelit). Misalnya, pita 700 MHz masih belum sepenuhnya bisa digunakan karena proses ASO (Analog Switch Off) belum merata di seluruh Indonesia. Demikian juga pita 3.5 GHz masih terbagi dengan kebutuhan satelit dan lembaga lain.

2. Lelang Spektrum yang Tertunda

Beberapa rencana lelang spektrum penting, seperti 2.6 GHz dan 3.5 GHz, masih belum dieksekusi sepenuhnya hingga awal 2025. Padahal pita ini sangat penting untuk membangun jaringan 5G yang memadai. Penundaan lelang ini membuat operator harus mengakali implementasi 5G dengan frekuensi yang ada, seperti 1800 MHz atau 2100 MHz — yang secara teknis masih bisa digunakan, tapi tidak ideal.

3. Kesiapan Regulasi dan Koordinasi Antar Lembaga

Masalah spektrum bukan hanya teknis, tetapi juga politik dan birokrasi. Beberapa pita yang dibutuhkan 5G berada di bawah pengawasan kementerian lain, seperti Kemenhan atau Kemenhub. Koordinasi lintas lembaga ini perlu percepatan agar spektrum bisa dilepas untuk keperluan komersial.

4. Masih Adanya Ketimpangan Akses di Daerah Rural

Walau kota-kota besar sudah siap dengan 5G, banyak wilayah rural yang akses 4G saja belum stabil. Ini menyebabkan pemerintah harus bijak dalam pembagian spektrum — antara mendukung inovasi di kota, dan mendorong pemerataan konektivitas di pelosok.

Apa Dampaknya bagi Industri Telekomunikasi?

Operator seperti Telkomsel, Indosat Ooredoo Hutchison, dan XL Axiata telah menyatakan komitmen tinggi terhadap 5G. Mereka bahkan sudah melakukan uji coba 5G komersial di beberapa kota. Tapi, tanpa tambahan spektrum, 5G yang dihadirkan akan terbatas, hanya sebatas showcase, belum bisa bersaing dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, atau bahkan Vietnam.

Ketidakpastian soal spektrum ini juga bisa berdampak pada:

  • Kepastian investasi: Investor butuh jaminan bahwa spektrum tersedia dan proses lelangnya jelas.

  • Inovasi industri: Smart city, IoT, dan kendaraan otonom butuh infrastruktur kuat. Tanpa spektrum, infrastruktur tidak akan optimal.

  • Efisiensi jaringan: Operator akan kesulitan memaksimalkan jaringan kalau frekuensi tidak cukup.

Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah?

Beberapa langkah konkret yang bisa didorong adalah:

  • Percepat proses lelang spektrum prioritas (2.6 GHz & 3.5 GHz) untuk 5G komersial.

  • Selesaikan ASO secara menyeluruh, agar pita 700 MHz bisa digunakan.

  • Koordinasi lebih agresif antar lembaga agar tidak ada spektrum idle.

  • Dorong network sharing berbasis teknologi MOCN, agar operator bisa saling berbagi spektrum dan infrastruktur di daerah dengan trafik rendah.

  • Transparansi roadmap spektrum agar pelaku industri bisa mempersiapkan diri lebih baik.

Kesimpulan

Spektrum frekuensi adalah sumber daya strategis, seperti minyak bagi kendaraan digital kita. Tanpa pengelolaan yang baik, teknologi secanggih apapun — termasuk 5G — akan sulit diterapkan maksimal.

Indonesia sebenarnya punya peluang besar menjadi kekuatan digital di kawasan Asia Tenggara. Tapi untuk mewujudkannya, kunci pertamanya adalah kebijakan spektrum yang gesit, transparan, dan berpihak pada inovasi.


Kalau kamu tertarik dengan isu-isu telko seperti ini, jangan lupa follow blog ini dan share ke teman-temanmu yang juga peduli dengan masa depan jaringan Indonesia. 💡📶

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Silahkan berkomentar yang baik di sini :) (no junk)

Posting Komentar (0)

Search Another