Dalam dunia bisnis, sempat terbesit mengapa raksasa sekelas perusahaan itu bisa minus growthnya ataupun sangat kecil pertumbuhan salesnya dari tahun ke tahun. Anda bekerja dimanapun, di perusahaan apapun saat ini, tetap saja sales merupakan jantung utamanya. Dari mana perusahaan bisa terus beroperasi dan menggaji karyawannya kalau bukan dari hasil sales..
Contoh yang sudah ada adalah Nokia, yang sempat punah akibat
tidak mengantisipasi perubahaan yang akan terjadi, tidak mau berubah dan
beradaptasi karena “kejunya” sudah habis di tempat itu. Sama seperti 2 kurcaci
dalam buku who moved my cheese yang tetap berharap di tempat yang sama akan
selalu tersedia keju untuk mereka, hingga akhirnya tertinggal oleh 2 tikus
pintar yang segera mencari tempat baru untuk mencari keju baru. Namun salah 1
kurcaci yang mulai “sadar”,segera menyusul kedua tikus tadi walaupun ia
terlambat (itulah yang dilakukan Nokia saat ini mencoba mulai bangkit).
Tupperware yang sedari dulu menjadi kebanggaan ibu-ibu hingga
sekarang, sempat diisukan bangkrut karena sahamnya di AS anjlok. Penjualannya
memang menurun sejak hadirnya beberapa kompetitor yang menawarkan harganya
lebih murah. Perusahaan ini juga mengalami masalah hutang yang membengkak. Maka
dari itu agar Tupperware tetap exist, mereka mencoba menawarkan produk baru
dengan harga lebih murah yang lebih trendy dan masuk ke anak-anak muda,
milenials gen Z.
Market shifting kalau kata pak James Gwee, trainer &
motivator Indonesia. Karena emak-emak zaman dahulu akan menjadi oma-oma saat
ini, mereka harus bisa merebut kembali hati ibu-ibu zaman now dan anak muda.
Saya rasa itu juga yang harus dilakukan oleh Unilever,
sejak pandemi dan hadirnya beberapa kompetitor yang mampu menawarkan low price dengan
kualitas yang mirip, membuat pertumbuhan sales Unilever melambat bila dibandingkan
masa lalunya sehingga nilai sahamnya menurun.
Di dunia telekomunikasi juga sama, persaingan antar vendor
maupun antar operator. Di sisi operator kita semua tahu bahwa Telkomsel
terkenal dengan jangkauannya yang terluas ditambah lagi dengan jargonnya yang
paling Indonesia. Banyak orang juga mengakui di saat sinyal lain susah, tapi
Telkomsel menjadi andalan mereka, meskipun harganya yang lebih tinggi
dibandingkan lainnya. High price, high quality itulah yang harus dipertahankan
oleh Telkomsel apabila tidak ingin mengalami nasib yang sama dengan yang
disebut tadi sebelumnya. Bahkan menurut saya, harus mampu mengendus perubahan
sebelum perubahan itu terjadi seperti kedua tikus di who moved my cheese tadi.
Apabila tidak bisa, maka jangan salahkan pelanggan mulai
berpindah hati mencari harga yang lebih low dengan quality yang menyerupai.
Perlunya menyasar middle to low, jangan hanya middle to up saja. Kecuali memang
segmentnya kelas atas semisal Ferari, Rolex. Karena jumlah masyarakat Indonesia
jauh lebih banyak kelas menengah ke bawah dibandingkan dengan menengah ke atas
(berdasarkan data dari katadata dan cnbcindonesia). Namun Telkomsel masih bisa bersaing
karena masyarakat juga menginginkan komunikasi yang lancar, baik dan mudah, dibayang-bayangi
oleh IoH dan XL yang siap maju kapan saja, who knows...
Silahkan berkomentar yang baik di sini :) (no junk)